Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan


Dulu. Dulu sekali. Kita, sedikit-sedikit sering melakukan amalan-amalan kecil. Seperti membaca doa sehari-hari. Doa masuk dan keluar masjid, doa ketika bersin, doa sebelum tidur dan bangun tidur, doa masuk dan keluar dari kamar mandi, doa sebelum dan sesudah makan, doa bepergian dan naik kendaraan, dan doa sehari-hari lainnya. Amalan-amalan kecil yang dahulu sering kita lakukan sehari-hari, tapi mungkin sekarang sudah mulai terlupakan dan terabaikan. Nastaghfirulloh. Saya pikir ini hanya masalah pembiasaan saja. Jika kita sudah terbiasa maka akan ingat secara otomatis.

Seberapa tidak pentingkah amalan-amalan tersebut? Bukankah doa sehari-hari itu juga penting? Orang-orang zaman sekarang ini lebih suka menyeplos bid'ah-bid'ah dan kafir-kafir saja tanpa melihat sisi kebaikannya, tanpa mengerti bahwa hal itu adalah bi'dah hasanah. Padahal doa sendiri ibarat pedang seseorang muslim untuk mengusir setan-setan yang mencoba untuk menjajah keimanan manusia. Kalau tidak dengan doa dengan apalagi kita bisa melawan.

Sekarang ini sudah jarang sekali orang yang berbicara soal setan. Lebih suka berbicara apa yang viral di hari ini dari pada membicarakan musuh bebuyutan manusia ini yang dianggap kelewat takhayul. Setan seolah sudah menjadi barang kadaluwarsa yang tak butuh lagi untuk dibicarakan atau terkadang setan menjelma menjadi barang lucu, yang setiap orang mudah sekali tertawa begitu mendengar namanya. Zaman telah benar-benar terbalik. Padahal ialah musuh sejati seorang anak manusia di muka bumi ini setiap sekonnya, yang tak kasat mata, padahal ia senantiasa menjelungupkan manusia ke jurang yang mahakelam, entah dari arah depan, kiri, kanan, belakang, bahkan atas, bawah, dan di dalam diri manusia itu sendiri. Anehnya manusia banyak yang tidak menyadari, bahwa mereka, para setan-setan itu benar-benar ada. Setiap seorang anak manusia lahir di bumi, maka lahir pula satu setan. Bedanya, manusia bisa mati, tapi setan tetap hidup sampai hari kiamat. Sehingga semakin mendekati hari akhir, semakin banyak pula setan-setan itu, semakin sesak bumi oleh setan di sana-sini.

Jika saja orang tahu, alangkah indah arti dari semua doa-doa itu. Imam Al-Ghazali adalah ulama besar, hujjatul Islam, ahli tasawuf, karya dan tulisannya dipakai rujukan oleh banyak ulama. Beliau senantiasa mengamalkan doa-doa sehari-hari. Salah satunya adalah doa-doa yang dibaca ketika berwudhu. Sepele memang kelihatannya, tapi inilah esensi kehidupan.

Di dalam setiap gerakan wudhu, mempunyai bacaan doa-doa tersendiri, dari doa ketika melihat air, doa ketika berkumur, doa ketika membersihkan lubang hidung, doa ketika membasuh wajah, doa ketika membasuh tangan kanan dan kiri, sampai doa pada saat membasuh kaki.

Di dalam hadis imam Muslim dan imam Bukhari juga di riwayatkan bahwa Rasulullah Saw, pada saat berwudhu beliau juga membaca doa di setiap gerakan wudhu, dengan membaguskan di setiap gerakan wudhunya.

Rasulullah bersabda, "Barangsiapa berwudhu dengan membaguskan wudhunya, maka keluarlah dosa-dosanya dari kulitnya sampai kuku jari-jemarinya," (HR. Muslim).

Doa-doa yang dibaca ketika berwudhu ini diajarkan oleh imam Al-Ghazali. Doa-doa itu bisa ditemukan di kitab-kitab fiqh, seperti  al-mabadi' al-fiqhiyyah juz satu, dan lain sebagainya. Sungguh, suwer, betapa indah arti dari doa-doa itu jika orang mengetahuinya.

Berikut saya perinci satu demi satu, kalimat demi kalimat, agar kita menjadi lebih tertarik untuk mengamalkannya.

Ketika melihat air,  "alhamdu lillahilladzi ja'alal ma'an thohuron," segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menjadikan air suci lagi mensucikan.

Ketika membasuh telapak tangan,
"allohummahfadz yadi min ma'asyika kulliha," ya Allah jagalah kedua tanganku dari semua perbuatan maksiat kepada-Mu.

Saat berkumur, "allohumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatika," ya Allah bantulah aku untuk selalu berdzikir dan bersyukur kepada-Mu dan selalu memperbaiki ibadah kepada-Mu.

Ketika menghirup air ke hidung, "allohumma arihni roihatal jannah wa anta annii rodliin," ya Allah berikanlah aku penciuman wewangian aroma surga kelak, dan Engkau terhadap diriku yang selalu meridhoi.

Kemudian membasuh wajah disertai dengan niat berwudhu dengan lisan (sunah) dan dalam hati (wajib), "nawaitul wudhu-a lirof'il hadatsil ashghori fardhon lillaahi ta'aalaa," saya niat berwudhu untuk menghilangkan hadas (kejadian) kecil fardu (wajib) karena Allah ta'ala.

Kemudian dilanjutkan dengan membaca doa membasuh wajah, "allohumma bayyidh wajhiy yauma tabyadhdhu wujuuhu wa taswaddu wujuuh," ya Allah putihkanlah wajahku pada hari menjadi putih berseri wajah-wajah orang yang beriman dan menjadi hitam legam wajah-wajah orang kafir.

Ketika membasuh tangan kanan, "allohumma a'thini kitabi biyamini wa hasibni hisaban yasiro," ya Allah berikanlah kepadaku, catatan amalku dari tangan kananku dan hisablah aku dengan perhitungan yang ringan.

Ketika membasuh tangan kiri, "allohumma laa tu'thini kitabi bisyimali wa laa min waro'i dzohrih," ya Allah jangan Engkau berikan kepadaku, catatan amalku dari tangan kiriku atau dari belakang punggungku.

Ketika mengusap rambut kepala, "allohumma harrim sya'ri wa basyari 'alannar," ya Allah haramkanlah rambutku dan kulitku atas api neraka.

Ketika membasuh kedua telinga, "allohummaj'alni minalladzina yastami'unal qoula fayattabi'una ahsanah," ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mendengarkan nasehat dan mengikuti sesuatu yang terbaik.

Ketika membasuh kaki, "allohumma tsabbit qodamii 'alash syirothi yauma tazillu fiihil aqdam," ya Allah, mantapkanlah kedua kakiku di atas titian (shirothol mustaqim) pada hari dimana banyak kaki-kaki yang tergelincir.

Kemudian setelah berwudhu, "asyhadu an laa ilaaha illalloohu wahdahuu laa syariika lah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu wa rosuuluh, alloohummaj’alnii minat tawwaabiina waj’alnii minal mutathohhiriin, waj'alnii min 'ibaadikash shoolihiin," aku bersaksi, tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku mengaku bahwa Nabi Muhammad itu adalah hamba dan utusan Allah. Ya Allah, jadikanlah aku dalam golongan orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku dalam golongan orang-orang yang bersuci, dan jadikanlah aku dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.

Demikianlah bacaan doa-doa membasuh anggota dalam wudhu yang sangat jarang sekali diamalkan oleh kebanyakan orang. Semoga doa tersebut bisa bermanfaat bagi kita semua. Yang mengamalkan doa-doa kecil itu adalah para ulama-ulama besar. Sedangkan ulama-ulama kecil yang bermunculan akhir-akhir ini tidak mau mengamalkannya. So, kita ikut ulama besar apa ulama kecil?

Apalah arti sebuah gunung tanpa adanya kumpulan kerikil, pasir, dan tanah yang banyak? Apalah arti sebuah amal besar tanpa dilandasi oleh amalan-amalan kecil yang dilakukan secara istiqamah? Istiqamah katanya, itu lebih baik dari seribu karomah.

Seseorang bisa jatuh karena batu yang kecil, bukan batu yang besar. Batu yang besar sudah jelas terlihat di depan mata sehingga kita bisa dengan mudah menghindarinya. Tapi batu kecil, kalau tidak awas kita akan tersandung, dan akhirnya tersungkur jatuh.

Seseorang bisa diangkat derajatnya karena amalan yang kecil pula. Ada seorang pelacur yang dosanya sudah menjadi gunung. Tapi di akhir hayatnya ia diampuni dosa-dosanya karena memberi minum kepada seekor anjing yang kehausan.

Semua berkat kemahakasihnya Allah. Atas kuasa dan ketetapan-Nya. Allah memilih siapa-siapa yang dikehendaki-Nya diangkat ataupun dijatuhkan. Allah melihat hati, ketulusan, dan cinta, bukan amal besar yang tidak istiqamah, karena hanya butuh pada saat itu saja.

Istiqamah itu luar biasa sekali. Istiqamah dalam melakukan dan mengumpulkan kebaikan-kebaikan yang kecil sekalipun. Istiqamah itu akan melahirkan cinta dan keikhlasan. Istiqamah mencintai Allah dan juga mencintaimu. Mencintai kalian semua. ;)

Kota Rindu, 21.07.2018
Bumi Damai PPAH.
Omah Sinau Koma.
Mukhammad Fahmi.




Percayalah. Kata para ulama sufi, "kehidupan dunia dan kehidupan akhirat itu saling berkebalikan." Berbanding terbalik. Sebutlah "D" sebagai kehidupan dunia dan "A" sebagai  kehidupan akhirat. Maka bahasa matematika menyebutnya sebagai, "D=1/A atau A=1/D." Sebuah relasi yang tak sebanding. Apapun itu. Semakin besar nilai D, maka nilai A akan menjadi semakin kecil. Dan semakin besar nilai A maka akan semakin kecil nilai D.

Semakin banyak kita sibuk mengurus kepentingan dunia (bukan niat untuk kehidupan akhirat) maka akan semakin sedikit kita mengingat kehidupan akhirat (semakin melupakan kehidupan akhirat). Semakin banyak kita mengerjakan amal akhirat maka kita akan semakin sedikit tertarik dengan kehidupan duniawi (semakin mengabaikan kepentingan duniawi).

Ingin buktinya? Baik. Katakanlah uang di dunia adalah berharga, sedangkan pahala sama sekali tidak. Maka di akhirat nanti uang menjadi tidak berharga, sedangkan pahala menjadi alat pembayaran yang berharga. Allah akan membeli orang-orang yang beriman dengan surga, begitu dalam suatu hadis. Apakah di dunia ini ada orang yang ingin membeli pahala dengan uang? Tentu tidak karena pahala di dunia tak berharga. Atau apakah ada orang di akhirat nanti yang pahalanya ingin dibeli dengan uang? Tentu tidak pula, sebab uang di akhirat tidak berharga.

Kehidupan dunia dan akhirat itu saling berbanding terbalik. Orang-orang yang hura-hura dan senang-senang saja di kehidupan dunia, maka ia akan susah di kehidupan akhiratnya. Sementara orang-orang yang susah di dunia (untuk mentaati agama Allah) maka kelak ia akan bahagia di akhiratnya.

Bukankah ada pepatah yang mengatakan, "susah-susah dahulu, senang-senang kemudian?" Apakah kita tidak mengingatnya lagi.

Dalam suatu hadis disebutkan, "barang siapa yang kenyang di dunia, maka ia akan lapar di akhiratnya." Hadis tersebut juga menunjukkan pernyataan yang berlawanan antara kehidupan dunia dan akhirat. Kalimat kenyang di sini adalah kenyang dengan kenikmatan-kenikmatan dunia, sedang ia melupakan kehidupan akhirat.

Ulama sufi berbeda dengan ulama fiqh. Bisa jadi apa yang diperbolehkan ulama fiqh menurut syariat tidak baik menurut ulama sufi. Hal yang dianggap mubah oleh ulama fiqh bisa jadi menjadi hal yang tidak baik dan dijauhi ulama sufi. Seperti makan dan tidur. Keduanya halal dan mubah. Tapi bagi ulama sufi, mereka malah menjauhinya. Ulama sufi lebih senang berpuasa di siang hari dan tidak tidur di malam hari untuk beribadah. Ulama sufi lebih mementingkan ibadah dan cinta kepada Allah daripada kesenangan yang semu. Ulama sufi lebih mementingkan keselamatan daripada kesempatan.

"Menjadi ulama fiqh itu berbahaya," begitu kata ulama sufi. Ulama fiqh terkadang beribadah bukan atas dasar cinta, melainkan atas hukum-hukum. Terpenjara oleh hukum dan aturan-aturan. Bisa jadi juga mereka menggunakan dalil untuk membela diri dari kesalahan. Astaghfirullah. Dan kebanyakan ulama sufi itu kurus, sedang ulama fiqh itu gemuk, hehe.

Hari ini kita memberi, esok kita akan mendapatkan. Hari ini kita menabung, esok kita akan menuai. Hari ini kita berhutang, esok kita harus membayar. Hari ini kita melukai, esok kita akan dilukai. Hari ini kita menolong, esok kita akan ditolong. Demikianlah hukum alam, sunnatullah. Berbanding terbalik bukan, antara me- dan di-, kalimat aktif berbanding terbalik dengan kalimat pasif.

Kembali ke rumus awal di atas, D=1/A atau A=1/D. Semakin besar nilai D, maka nilai A akan menjadi semakin kecil. Dan semakin besar nilai A maka akan semakin kecil nilai D. Katakanlah nilai D 100, maka nilai A-nya menjadi 0.01. Jika nilai A 100, maka nilai D-nya 0.01. Benar, bukan. A=1/D, maka 100 = 1/0.01 ekuivalen dengan 100 = 100. Sehingga menjadi impas ruas kiri dan kanan. Semua kebaikan harus terbalas. Semua  keburukan harus terbalas. Tak lagi tersisa. Sebagaimana rindu, segalanya harus dibayar tuntas.

Demikianlah, masih ada tak berhitung contoh yang membuktikan bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu berbanding terbalik dengan kehidupan akhirat.

Hari ini dunia adalah nyata, akhirat hanya dongeng dan cerita belaka. Tapi setelah mati, akhirat menjadi nyata dan dunia hanyalah dongeng dan cerita masa lalu.

Kota rindu, Malang, 19.07.2018.
Ngaji pagi, Bumi Damai PPAH.
Omah Sinau Koma.
Mukhammad Fahmi.


Memperhatikan Niat
Oleh: M. Fahmi *)

“..Dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik,” (QS. Yunus: 105).

“..Sesungguhnya segala amalan itu tergantung pada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya,” (HR. Bukhari).

Hal pertama yang harus diperhatikan oleh seseorang sebelum melakukan segala amal ialah niat. Amal apapun yang dikerjakan harus memperhatikan niat yang ditanamkan di dalam hati. Niat merupakan ruh segala macam ibadah. Ibarat jasad, tanpa ruh maka ia bukanlah apa-apa, dan bahkan mati. Begitu pun dalam hal ibadah, akibat kelalaian dalam hal niat juga akan mengakibatkan banyak “kerugian” bagi pelakunya.

Sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw, “innamal a’malu binniyyaat.” Bahwa sesungguhnya amal-amal itu harus disertai dengan niat. Tanpa niat, amal itu menjadi tidak sah, atau mungkin juga tidak bisa diterima oleh Allah. Karena niat itu secara syari’at untuk membedakan antara ibadah dan bukan ibadah. Perbedaan antara ibadah dan bukan ibadah itu terletak pada niat.

Ada orang yang membasuh muka, membasuh tangan, dan mengusap kepala, tapi tanpa niat wudhu maka itu namanya bukan wudhu tapi raup. Jadi untuk membedakan antara wudhu dan raup itu terletak pada ada dan tiadanya niat. Niat mempunyai kedudukan yang penting dalam wudhu. Karena itulah para ahli fiqh menjadikan niat sebagai salah satu rukun wudhu. Membasuh muka disertai dengan niat, “nawaitul wudhu’a lirof’il hadatsil ashghori fardhon lillahi ta’ala,” beserta dengan maksudnya di dalam hati, baru itu bisa disebut sebagai ibadah (wudhu).

Ada orang yang berdiri, membungkuk, dan sujud, tapi tanpa niat shalat, maka itu namanya bukan shalat, melainkan senam atau yoga. Niat juga menjadi rukun dalam shalat. Niat shalat tidak harus dilafalkan, karena niat bukan merupakan pekerjaan lisan, melainkan pekerjaan hati. Menurut Ibnu Qayyim, niat adalah bermaksud melakukan sesuatu dan tempat niat adalah di dalam hati. Rasulullah Saw bersabda, “sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi melihat atau memperhatikan niat dan keikhlasan dalam hatimu,” (HR. Muslim).

Ada orang yang tidak makan selama sehari atau mungkin selama beberapa hari tapi tanpa niat, maka itu tidak disebut sebagai puasa, tapi mogok makan. Jadi, supaya orang itu mendapat pahala, namanya ibadah ya harus berniat puasa. Malam hari melafalkan, “nawaitu shouma ghodin lillahi ta’ala.” Saya berniat puasa besok karena Allah ta’ala, baru itu namanya puasa.

Dalam madzhab Imam Syafi’i niat puasa wajib harus dilakukan pada malam hari, yakni waktu setelah terbenamnya matahari (maghrib) sampai dengan sebelum terbitnya fajar shadiq (sebelum masuk waktu shalat subuh). Berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari maka tak ada puasa baginya,” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Terkecuali jika yang dilakukan adalah puasa sunah, maka ia boleh berniat di siang hari selagi belum makan dan minum.

Untuk puasa wajib, termasuk puasa bulan Ramadhan, niat yang demikian itu harus dilakukan setiap malam karena puasa dalam tiap-tiap harinya adalah satu ibadah tersendiri (Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Kaasyifatus Sajaa). Dengan demikian, bila seseorang lupa belum berniat pada malam hari maka puasa pada siang harinya dianggap tidak sah. Pertanyaannya kemudian adalah, bila sudah jelas puasa pada hari tersebut tidak sah karena pada malam harinya lupa belum berniat, maka apakah diperbolehkan bila pada hari itu orang tersebut tidak berpuasa? Toh bila ia berpuasa pun sudah jelas puasanya tidak sah. Menurut Syekh Nawawi al-Bantani, hukum fiqh tetap mewajibkan orang tersebut berpuasa pada hari itu meskipun sudah jelas puasanya tersebut tidak sah. Tidak berhenti sampai di situ, orang tersebut juga harus mengganti (mengqadha) puasa hari tersebut di hari lain di luar bulan Ramadhan. Barangkali inilah yang dimaksud dengan “kerugian” sebagaimana disebut di atas. Hanya karena teledor dan lalai dalam memperhatikan niat, seseorang harus tetap berpuasa, namun puasanya dianggap tidak sah dan harus melakukan puasa ulang untuk menggantinya. Terlebih bila melihat dari sisi kemuliaan bulan Ramadhan, maka jelas puasa sehari yang dilakukan di bulan Ramadhan jauh lebih bernilai dari pada puasa yang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Ini juga menjadikan orang yang lupa niat semakin mengalami “kerugian” yang lebih besar.

Imam Qalyubi dalam kitab Hasyiyah-nya menyampaikan satu solusi sebagai langkah kehati-hatian. Bahwa agar puasanya orang yang lupa berniat pada malam harinya tetap sah, maka dianjurkan pada malam pertama bulan Ramadhan untuk berniat akan berpuasa Ramadhan satu bulan penuh. Bila ini dilakukan maka seandainya seseorang lupa berniat pada malam tertentu puasanya akan tetap dianggap sah dan tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Niat yang demikian itu dapat dilakukan dengan merujuk pada apa yang diajarkan oleh Imam Maliki. Namun demikian, Imam Maliki juga memberi syarat, niat berpuasa untuk satu bulan penuh itu berlaku bila puasanya tidak terputus. Bila puasanya terputus karena sakit, haid, atau perjalanan, maka wajib berniat kembali untuk hari-hari yang tersisa (Hasan Sulaiman Nuri dan Alwi Abas al-Maliki).

Adalah sebuah kenikmatan yang besar bagi kaum muslimin di Indonesia, di mana para ‘ulamanya membudayakan niat berpuasa bersama-sama pada setiap malam hari seusai shalat tarawih berjama’ah di masjid-masjid dan mushala-mushala. Kiranya perlu dibudayakan pula niat berpuasa sebulan penuh secara bersama-sama pada malam pertama bulan Ramadhan sebagai langkah kehati-hatian sebagaimana diajarkan oleh Imam Maliki.

Demikianlah, sekalipun ada amalan yang tanpa niat pun sudah sah, misalnya adzan itu tidak perlu memakai, “nawaitu..,” kemudian ketika shodaqoh tanpa “nawaitu..,” itu juga sudah sah, tapi sebagian besar ibadah itu harus disertai dengan niat di dalam hati. Allah Swt berfirman, “..pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula,” (QS. al-Zalzalah: 6-8).

Misalkan lagi, ketika pergi ke majlis ta’lim untuk memperoleh ilmu (tholabul ‘ilmi) dan menghilangkan kebodohan, itu namanya sudah niat. Demikian juga niat yang kedua, berangkat dari rumah adalah untuk menjalankan perintah Allah dan Rasulullah, itu juga niat namanya. Niat yang paling lebih utama lagi yaitu untuk mencari ridho Allah. Dan lebih dari pada itu, karena semakin banyak niat maka semakin banyak pula pahalanya, begitu kata para ‘ulama. Sekalipun amalnya hanya satu tapi niatnya banyak, maka orang tersebut akan mendapat pahala sesuai dengan jumlah niatnya. Kanjeng Nabi Muhammad Saw bersabda, “innamal a’malu binniyyaat,” yaitu bukan hanya satu niat saja, tapi niat yang banyak.

Imam Ahmad ditanya mengenai apa niat yang benar dalam belajar agama. Beliau menjawab, “niat yang benar dalam belajar adalah apabila belajar tersebut diniatkan untuk dapat beribadah pada Allah dengan benar dan untuk mengajari yang lainnya.” Sebaliknya, apabila seseorang salah dalam berniat, maka ia akan mendapatkan kerugian. Anas bin Malik berkata, “barang siapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ‘ulama, untuk berdebat dengan orang bodoh, dan supaya dipandang manusia, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka,” (HR. Hakim dalam Mustadroknya).

Niat tidak hanya dilakukan ketika seseorang melakukan ibadah. Perkara bukan ibadah yang diniatkan untuk ibadah maka bernilai ibadah dan ia akan mendapatkan pahala. Ketika sedang makan misalnya, niatnya yang pertama yaitu mensyukuri nikmat yang hakikatnya adalah pemberian dari Allah. Niat yang kedua yaitu mengikuti perintah Allah Swt. Allah telah berfirman, “...makan dan minumlah..,” (QS. al-A’raf: 31). Ayat tersebut merupakan sebuah perintah, namun bukan suatu kewajiban tapi mubah. Sebab manusia itu tidak sama dengan malaikat. Karena malaikat itu tidak punya ayah ibu, tidak makan dan juga tidak minum, tidak pula tidur. Sebaliknya manusia oleh Allah diberi nafsu, maka ia diperintahkan untuk makan. “..makan dan minumlah..,” namun dengan catatan, “..dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan,” (QS. al-A’raf: 31). Ada perintah tapi juga ada larangan. Niat yang ketiga yaitu supaya tubuh menjadi sehat dan kuat agar bisa digunakan untuk beribadah kepada Allah Swt. Sedemikian ditambah dengan niat-niat baik lainnya, sehingga akan mendapat pahala yang banyak pula.

Semakin tinggi tingkatan seseorang, maka semakin suci dan murni niatnya. Sebab niat yang tulus, ikhlas, dan jujur akan memberikan makna pada segala tindakannya. Ikhlas terletak pada niat di dalam hati. Allah berfirman, “..kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar,” (QS. an-Nisa’: 146).

Sehingga luar biasa sekali pentingnya niat, karena niat adalah pengikat amal. Orang-orang yang tidak pernah memperhatikan niat yang ada di dalam hatinya, maka bersiap-siaplah merugi untuk membuang waktu, tenaga, dan harta dengan tiada arti. Karena hanya dengan keikhlasan, amal seseorang dapat diterima. Semoga kita selalu diberikan ilmu yang bermanfaat dan niat yang ikhlas dalam belajar serta beramal. Aamiin.

Malang, 30 Januari 2018.

*) Penulis adalah staff redaksi buletin al-Anwar PP. Anwarul Huda Malang.

Semacam Endapan Proses Belajar
Oleh: M. Fahmi

"Ummati, ummati, ummati... Tuhan, bagaimanakah keadaan umatku kelak setelah kepergianku? Ya Tuhan, betapa sakit kematian ini. Maka limpahkanlah rasa sakit kematian yang diderita oleh seluruh umatku kepada hamba. Biarlah hamba saja yang menanggung..." [Rasulullah, di akhir hayatnya].

Betapa cinta dan sayangnya Rasulullah kepada kita. Betapa perhatiannya Rasulullah kepada kita, kepada seluruh umatnya, agar kelak berada pada tempat yang sama. Tapi pernahkah kita merindukan, menangis, dan mangadu kepada Rasulullah, atas segala perjalanan yang kita jalani, sekaligus atas segala peristiwa yang disuguhkan dalam layar lebar kehidupan di masa kini? Jawabannya mungkin pernah, tapi hampir dipastikan jarang sekali. Kita mungkin lebih suka hanyut di dalamnya untuk kemudian menghibur diri dan bersenang-senang. Dunia ini hanyalah persinggahan sementara dan kelak akan binasa, perbanyaklah menangis. Bumi adalah tempatnya bersabar atas segala ujian. Ini ujian dari Allah, agar kemudian manusia menanam dan mengumpulkan kebaikan. Kakanda Rasulullah, izinkanlah aku menulis dan bercerita tentang kondisi umatmu di masa kini. Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad...

***
Aku tidak tahu, ini tulisan macam apa. Tapi betapapun demikian, setidaknya biarlah tulisan ini menjadi bagian yang (semoga bisa) menyembuhkan "penyakit" yang diderita oleh manusia-manusia, yang tak juga kunjung sembuh dari hari ke hari. Sebenarnya, telah sedemikian jelas apa yang telah disampaikan di dalam buku besar kehidupan. Namun entahlah, manusia banyak yang mengabaikan pesan demi pesan rahasia yang ada di dalam kitab kebenaran itu.

Sudah lama sekali rasanya aku tidak bercerita (baca: curhat). Cerita memang identik dengan alay. Dan, aku sangat risih jika tulisanku terkesan alay. Tapi mau bagaimana lagi. Kebenaran tetaplah sebagai sebuah kebenaran. Aku seperti terkoyak habis-habisan jika kebenaran itu kemudian dijadikan oleh orang-orang sebagai barang mainan yang layak untuk ditertawakan. Dan kali ini, aku harus menjelaskan kebenaran itu dalam bentuk cerita. Sebab, tidak cukup jika disampaikan hanya lewat puisi maupun artikel. Aku harus menghadirkan uraian kronologi cerita itu di dalam tulisan ini (meski tidak seutuhnya), agar engkau percaya. Percaya senyata-nyatanya, bahwa hal semacam ini memang telah benar-benar terjadi di masa kini. Namun dengan catatan tetap menjaga kehormatan dengan tanpa menyertakan identitas, karena aku hanya ingin menjadikan tulisan ini sebagai pelajaran sekaligus pengabaran kepada kakanda Rasulullah, bukan penghakiman dan penghajaran.

Sementara, kulihat di luar sana, telah sedemikian entah, hingga tak mampu lagi kujelaskan lewat kata-kata biasa di lembaran sesempit ini. Namun aku ingat, sesungguhnya aku punya tanggung-jawab moral pada semua manusia. Mau tidak mau, aku harus tetap menulis untuk kebenaran. Betapa dalam menulis tulisan semacam ini, aku harus melewati fase-fase amarah di dalam diri. Tapi sungguh, Kawan, ini demi kebenaran, dan aku tak punya pilihan lain lagi. Meski ada beberapa yang menolak kebenaran dan menganggapku sok, aku tidak peduli. Fa innii laa ubaalii bikum. Dan aku akan tetap menyayangi dan berprasangka baik kepada semua manusia ciptaan Tuhan. Toh, ini semua demi kebaikan kita bersama. Bukankah begitu, Kawan?

Aku hanya ingin menulis semata-mata karena aku ingin menulis. Setelah semuanya tertulis dan segala resah gelisahku tertuang dalam catatan ini, maka akan legalah perasaanku. Betapapun, aku tetap harus bercerita di sini; tentang segala yang sebetulnya terjadi. Tentang segala realita yang kita melihatnya bersama namun tak kunjung juga kita mampu membela kebenaran. Tentang segala yang tak mampu untuk kuselesaikan sendiri, kecuali berbagi dengan menulis. Karena kebetulan tokoh aku dalam tulisan ini adalah seorang mahasiswa, maka ceritanya kebanyakan juga tentang persoalan mahasiswa. Dengan uraian masalah-masalah berikut, semoga bisa memberi permenungan bersama sekaligus pencarian solusi, setidaknya berangkat dari diri sendiri. Inilah yang menjadikan keresahan penulis dalam melatarbelakangi lahirnya tulisan ini (yah, dari sini saja sudah kelihatan alay; mungkin karena efek skripsi, wkwk).

Baiklah, cukup. Kita kembali lagi ke permasalahan. Kalian pasti mengerti, kalau aku adalah sosok yang sangat acuh, dingin, dan juga tidak peka. Biarlah apa kata kalian, itu tidak mengapa bagiku. Toh, aku orangnya memang begini (hehe). Tapi mengapa kalian diam-diam masih juga memerhatikanku? Apakah kalian suka kepada lelaki macam aku? Lalu, aku harus bersikap bagaimana lagi agar membuat kalian berhenti memujiku? Ups, namun bukan itu yang ingin kubahas. Itu hanya sebagai kode pengantar saja. Ada banyak hal lain yang lebih penting dan mesti kuceritakan seputar perputaran zaman ini. Akan kuceritakan dari cerita yang paling ringan (baca: sepele) sampai pada cerita yang tidak ringan sekalipun. Baiknya, kujadikan poin-poin saja.

Poin satu (back to nature).

Masih ingat dengan cerita alm. Yu Patmi dan para pejuang tanah Kendeng? Baiklah, kemarin hari Kamis yang lalu (30/03/2017) telah diadakan kegiatan tahlil dan do'a lintas iman di Bunderan UGM, paling tidak, untuk turut memberikan dukungan kepada para petani di Kendeng. Dan, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan lingkungan di pegunungan Kendeng adalah menolak pabrik semen berdiri di sana. Selain tahlil dan do'a lintas iman juga diadakan orasi, pembacaan puisi, pentas musik, aksi teatrikal, dan aksi cor kaki. Aksi penolakan telah digelar di berbagai tempat, termasuk juga di Balai Kota Malang. Sebentar, kita perlu flash back dulu. Tahun 2015 yang lalu, para ilmuwan di seluruh dunia telah berkumpul di Prancis untuk membicarakan kadar emisi karbon di dunia. Hasil dari konferensi tersebut adalah bahwa emisi karbon telah meningkat sebesar 56 juta milton dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (dari tahun 2004-2014). Sementara itu, suhu bumi meningkat 0.8% setiap tahunnya. Ini berarti lingkungan semakin rusak, efek lebih jauh lagi adalah berkurangnya kadar oksigen dan ozon di bumi, efek rumah kaca, dan mencarinya gunung es di kutub. Konferensi berakhir dengan problem tanpa solusi, karena para ilmuwan tidak tahu bagaimana cara untuk mengatasinya,  mengingat manusia hari ini lebih suka dengan kondisi yang nyaman, praktis, dan instan (dengan pesatnya produksi kendaraan, banyaknya pendirian industri, maraknya obat-obat kimia, sampai pupuk kimia sekalipun). Manusia hari ini banyak yang tidak memikirkan nasib anak cucu mereka ke depan: masihkah mereka menghirup udara yang sejuk, dan masihkah mereka meminum air bersih? Para ilmuwan dalam konferensi tersebut banyak yang memilih diam dan menunggu sampai suhu bumi naik empat derajat. Di Indonesia sendiri, terjadi penebangan hutan sampai puluhan juta hektar setiap tahunnya. Kota Malang hari ini (dengan suasana polusi dan panas di jalan raya) dengan Malang tempo dulu (dengan kesejukan udara meski di siang hari) jelas berbeda. Dan, kita sebagai mahasiswa, mestinya turut peduli kepada lingkungan, paling tidak berangkat dahulu dari diri sendiri. Mulai dari gerakan menanam tanaman toga, tidak membuang sampah sebarangan, tidak melakukan kapling pada tanah pertanian dan perkebunan, tidak menebang pohon yang masih muda dan berbuah. Aku pikir, dengan gerakan sederhana yang kemudian bisa dilakukan bersama-sama, setidaknya bisa menyumbang untuk perbaikan lingkungan di bumi. Tentu dibarengi dengan segala kebijakan pemerintah (yang sangat menentukan) untuk turut memperbaiki alam, termasuk kebijakan atas tanah Kendeng.

Poin dua (back to religion).

Mungkin dengan bergantinya zaman demi zaman, maka kehidupan akan menjadi semakin transparan. Dan kukira, kebaikan ataupun keburukan dari segala peristiwa yang ditawarkan dalam kehidupan ini bergantung dan kembali pada masing-masing individu. Dengan proses keluar masuknya data dan informasi yang maha cepat ini, maka bisa jadi manusia zaman sekarang akan menjadi "lebih pintar" dan karena itu juga manusia menjadi "lebih bodoh" daripada manusia zaman dahulu. Kita patut untuk prihatin.

Proses masuknya berita dan "ilmu" dari sesuatu yang sering disebut sebagai hape android dengan segala aplikasinya berupa Mbah Google, Whatsapp, Bbm, Line, dan segala macamnya itu kupikir cukup membantu manusia dalam memahami mana yang disebut sebagai kebenaran dan mana yang bukan kebenaran. Beribu-ribu bahkan berpuluh ribu kitab dan buku dengan format pdf bisa disimpan di dalamnya. Tapi mungkin ilmu itu hanya sampai di mata dan pengusapan layar saja, belum menyatu dalam laku. Dan kenyataannya sekarang, kebenaran semakin menjadi kabur saja. Aku "tidak tahu" faktor apa yang menyebabkan kaburnya kebenaran itu. Ah, tak perlu bertele-tele lagi lah. Biar kuberikan contoh riilnya saja, agar kita sama-sama mawas diri. Sebuah universitas dengan segala pendidikan yang ada di dalamnya, sekalipun dengan background agama—ternyata masih belum mampu menjadikan mahasiswa dan mahasiswinya menjadi benar. Nyatanya, masih banyak ditemukan mahasiswa yang sudah mengerti bahwa bersentuhan dengan lawan jenis (yang bukan mahrom) itu haram, tapi masih juga dilanggar atas nama kebersamaan. Apakah itu bersalaman (sekalipun kepada dosen), mencubit, sampai pada hal-hal yang berada di luar pemikiran penulis (hmm, iya ta?). Hal ini menjadi tanda tanya. Juga tentang mahasiswi yang sudah mengerti batasan-batasan aurat, tapi masih saja pergi ke kampus dengan tanpa menggunakan kaus kaki, memperlihatkan lengan, memakai kaos dan kerudung pendek yang membuat terlihatnya (tolong lanjutkan sendiri), ataupun berbusana dengan dilanjutkan kata "tapi" yang berada dalam tanda kutip besar. Laki-laki mana yang tidak tertarik, kasihanilah mereka yang harus berkali-kali menundukkan wajah sekaligus mengumpatkan kata maaf di sepanjang persimpangan jalan. Hal yang nampak sepele ini seakan menjadi wajar dan membudaya. Bagaimana menurutmu? Ini menjadi pe-er kita bersama, untuk membuat Rasulullah tersenyum.

Poin tiga (protect yourself).

Masih pada persoalan mahasiswa. Baru-baru ini kita dikagetkan dengan peristiwa kejahatan luar biasa. Beritanya masih hangat, karena baru saja kemarin. Apakah itu hoax atau nyata, yang penting kabar itu telah menyebar di media sosial. Tentang mahasiswi (belum nikah) yang melahirkan di tempat kos. Tidak hanya melahirkan, kabarnya, bayinya juga dibunuh. Kupikir, seorang mahasiswa ataupun mahasiswi telah banyak berpikir (atas banyaknya tugas) dan juga menimbang. Tapi mengapa masih juga "pura-pura" bodoh untuk soal yang seperti ini. Ini semua berawal dari (tolong sebutkan sendiri ya hehe, aku sudah tidak kuasa menyebutkan). Kasus-kasus terkait ini, sebenarnya bukan kali pertama kudengar. Kedua, aduh, memalukan sekali. Di kampus agama. Kejadiannya di dalam toilet (ah, aku sampai lupa ceritanya). Juga, masih ingat peristiwa Yuyun? Seorang siswi yang mati mengenaskan di salam semak-semak setelah dikeroyok oleh empat belas laki-laki sepulang sekolah. Di manakah rasa kemanusiaan itu kini berada? Juga tentang temannya teman penulis, yaitu tentang mahasiswa (yang kebetulan dianugerahi harta sekaligus ketampanan) di kampus negeri daerah Surabaya, yang ia sendiri telah lupa, kapan terakhir shalat (padahal muslim). Pun, ia (yang bercerita sendiri kepada teman saya) tidak menghitung, telah melakukan "sesuatu" itu berapa kali kepada mahasiswi-mahasiswi di kampusnya. Astaghfirulloh. Hal serupa juga dialami oleh seorang mahasiswi yang telah kecanduan sampai berganti-ganti..., seperti kecanduan merokok (yang apabila tidak merokok maka akan terasa pahit). Dan terakhir, ini yang membuat aku sungguh tidak percaya. Tentang seorang hafidzhoh al-Quran (mahasiswi jurusan PBA, salah satu kampus negeri di Malang) yang mengaku telah "tidak ori" karena terlena. Aih, eman banget tuh hafalannya yang cuma di bibir saja, Neng. Ini semua gara-gara siapa sih. Jujur dan maaf, aku menulis ini pun penuh dengan umpatan dan emosi, Kawan. Bagaimana bisa seperti ini alur ceritanya. Dan, masih banyak lagi cerita, terutama di negara bagian luar sana, yang hal-hal demikian mungkin telah dianggap lumrah. Padahal jika  manusia tahu, hukuman asli bagi para muslim/muslimah pezina ghoiru muhson (belum menikah) adalah dicambuk seratus kali di bagian punggung dan diasingkan selama satu tahun, sementara untuk pezina muhson (sudah menikah) adalah dirajam sampai mati. Lha, orang yang sudah menikah tapi berzina dan tidak mau dirajam (alias kabur), maka di hadapan penghuni langit ia seperti bangkai yang berjalan di atas muka bumi, karena semestinya ia harus sudah mati, dan amalnya pun tidak diterima. Hmm, Bagaimana menurutmu atas segala peristiwa ini? Ini menjadi pe-er kita bersama, untuk mengembalikan senyum Rasulullah.

Poin empat (back to rightness).

Kawan, kita harus rela memberikan segala-galanya, seluruh hati kita untuk kebenaran. Sebab, hari ini telah banyak orang yang melupakan kebenaran. Perputaran zaman yang telah sedemikian rakusnya, hingga arti kebenaran telah dicampakkan darinya. Berbagai produk kecanggihan teknologi, perubahan gaya hidup, modernisasi, dan berbagai kemasan lain, baik yang kasat mata maupun tidak, serasa membuat manusia semakin lupa diri: menjauhkan manusia dari inti pencariannya yang sesungguhnya. Orang-orang kini telah banyak yang tak peduli lagi pada kebenaran. Kebenaran seakan menjadi boneka lucu yang layak untuk ditertawakan. Betapa orang zaman sekarang sudah jarang berbicara soal setan berikut nafsu yang sudah jelas-jelas menjadi musuh terbesar bagi umat manusia di muka bumi ini. Manusia zaman sekarang telah banyak yang terjajah: terjajah oleh para penjajah nyatanya lahir dari diri sendiri. Manusia telah lama tertidur, hingga mereka tak mengerti, bahwa kebathilan telah sedemikian pesatnya menyesaki dan memenuhi isi bumi. Bumi telah sesak oleh berbagai kemungkaran-kemungkaran. Lihatlah di luar sana, betapa kebenaran kini telah lama mati bersama matinya hati nurani. Atas nama kebenaran mereka merayakan cinta, padahal itu semua hanya nafsu. Kawan, sudahkah kita berani jujur pada diri kita sendiri? Ataukah masih saja kita dustai nurani? Sudahkah kita telanjang polos di hadapan-Nya? Ataukah diam-diam masih saja kita coba tipu Dia? Sudahkah kita ingat, bagaimana cara menginjak bumi yang benar? Ataukah masih saja kita pura-pura tak mengerti? Sudahkah kita sambut cinta-Nya dengan cinta yang setara? Ataukah justru sembunyi-sembunyi kita jadikan Dia yang kedua? Sampai kapan tipu diri kita sendiri, kita perdaya diri kita, kita pertuhan diri kita, kita biarkan diri kita tenggelam dalam lumpur yang nista? Kawan, sampai kapan? Tapi percayalah, bahwa kebenaran kelak akan muncul sebagai pemenang, meski datangnya kadang belakangan...!

Poin lima (back to "home").

Di luar sana, kehidupan ternyata telah sedemikian entah, Kawan. Dunia telah berubah menjadi gaduh. Bumi telah benar-benar "terluka" parah! Mungkin disebabkan oleh para penghuninya yang sudah tidak lagi mau tahu apa yang sesungguhnya dilakukannya; kebenaran ataukah ke-tidak-benaran. Mataku yang—sengaja maupun tak sengaja—menyaksikannya pun ikut "terluka"; terkena panah api yang diam-diam melesat begitu cepat dalam "peperangan" itu. Aku memang ceroboh, "keluar rumah" tidak membawa "bekal senjata" sama sekali. Untung aku tak lupa membawa "peta" untuk perjalanan pulang. Dan aku memutuskan untuk segera berlari, "pulang ke rumah". Menyembuhkan "luka-luka" dengan air wudhu dan shalat.

Catatan untuk poin lima:

- Maaf atas banyaknya tanda petik: sebagai majas (sengaja memang, hehe).
- Aku lupa mencatat nomor polisinya, tapi aku berpikir biar malaikat saja yang mencatatnya.
- Alumni pesantren ternyata terbagi menjadi dua: menjadi santri sepanjang hidupnya dan menjadi mantan santri. Ilahi, sudilah kiranya Engkau memaafkan setiap kesalahan hamba-hamba-Mu; mungkin terlampau jauh.
- Semoga yang terjadi hanya sebuah sandiwara.
- Aku sudah kapok "keluar rumah" untuk mencari hal-hal yang bersifat sia-sia dan nihil.

Aku harus lebih banyak menulis lagi. Tentang kehidupan, tentang kemanusiaan, tentang kebenaran, dan masih banyak lagi. Sebab, menulis ternyata bukan hanya sekadar aktivitas merekam kejadian, tapi juga untuk mengumpulkan kebenaran, memperbaiki langkah, mengingatkan yang lupa, dan mempertebal keyakinan. Semua yang kutulis bukan bermaksud berburuk-sangka, tapi ini sudah menjadi realita di kehidupan masa kini. Semoga setiap yang kita tulis menjadi pelajaran bersama di kemudian hari.

Malang, 01.04.17

Merahasiakan Maqam dan Amal Shalih
Oleh: M. Fahmi

"... dan ketahuilah, bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun," [QS. al-Baqarah: 235].

Nabi Muhammad Saw. bersabda, "barang siapa di antara kalian yang mampu untuk memiliki amal shalih yang tersembunyikan, maka lakukanlah!" Kemudian imam adh-Dhahabi R.a. berkata, "seseorang yang ikhlas adalah seseorang yang mampu menyembunyikan amal baiknya sebagaimana ia menyembunyikan dosanya."

Nabi Muhammad Saw. juga pernah bersabda, "ilmu itu membisik, jika disertai amal, ilmu akan meresponnya, tetapi jika tidak ia akan meninggalkannya." Hadits ini menunjukkan bahwa barokah ilmu bisa sirna, tinggal argumen-argumennya belaka, sehingga seseorang akan menjadi ilmuwan, 'ulama, dan cendekiawan yang yang terfitnah oleh ilmunya sendiri, yang tersisa hanyalah pohon pengetahuan, sedangkan buahnya sirna darinya.

Mohonlah kepada Allah Azza wa-Jalla agar Dia memberikan rezeki kondisi ruhani dan maqom di hadapan-Nya. Bila Allah Azza wa-Jalla memberikan rezeki maqom dan haal pada kita, mohonlah agar Allah Swt. merahasiakan semua itu, dan hendaknya kita tidak suka bila rahasia itu ditampakkan. Bila kita suka ditampakkan kondisi ruhani kita yang ada di hadapan-Nya, maka itulah yang akan menyebabkan kehancuran. Berhati-hati dan waspadalah terhadap rasa kagum pada prestasi ruhani dan amal baik kita. Karena orang yang kagum pada amal dan ruhaninya, sesungguhnya ia telah terpedaya dan terkena amarah dari Allah Azza wa-Jalla.

Hati-hati, janganlah kita terlalu banyak berbicara dengan sesama, dan merasa senang ketika ucapan kita diterima. Hal itu justru yang akan membuat diri kita terkena bahaya dan tidak ada gunanya. Janganlah kita bicara dengan suatu kalimat sampai kalimat itu benar-benar mendapatkan restu dari Allah azza wa-Jalla. Bagaimana mungkin kita mengundang banyak orang ke rumah kita, sementara kita tidak menyiapkan hidangan bagi mereka? Persoalan ini harus membutuhkan pondasi, kemudian bangunan. Cangkuli hati kita hingga tumbuh subur air hikmah lalu bangunlah dengan ikhlas, mujahadat, dan amal shalih hingga istana kita menjulang. Baru setelah itu kita bisa mengajak orang lain. Ya Allah, hidupkanlah jasad amal kami dengan ruh keikhlasan dari-Mu.

Bagaimana mungkin bersembunyi dari makhluk bisa memberi manfaat pada diri kita, sementara makhluk terus menerus ada di hati kita? Sungguh tak ada kehormatan dan tak ada artinya khalwat kita. Bila kita berkhalwat sementara makhluk masih bercokol di hati kita, nafsu, syetan, dan hawa kesenangan terus menyertai kita, maka sesungguhnya kita dalam kesendirian tanpa hadir di hadapan Allah Azza wa-Jalla. Bahagia mesra itu bersama Allah Azza wa-Jalla. Bila hati kita merasa senang bahagia bersama Allah Azza wa-Jalla di sepanjang hembusan nafas, pasti kita sepi dari makhluk, walaupun kita bersama riuhnya orang.

Bila kebahagiaan indah benar-benar teguh mandiri di hati kita bersama Allah Azza wa-Jalla, maka dinding wujud kita pun roboh, mata-hati kita akan melihat, lalu yang kita lihat adalah anugerah dan tindakan-Nya. Lalu kita ridho hanya kepada-Nya, bukan ridho pada selain-Nya. Maka di situlah syarat ridho, berselaras dan 'ubudiyah benar-benar didapatkan.

Jangan sampai kita berdusta. Kita mengaku ridho, tapi hati kita bisa dirubah oleh sayuran, oleh suapan makanan, kata, dan gengsi. Kita jangan sampai berdusta, betapa nyaringnya dusta kita, sementara amal dan kejujuran kita menjadi sirna, bahkan tak seorang pun makhluk yang membenarkan kita.

Allah Swt. mewahyukan kepada hati para kekasih-Nya dengan Kalimat-kalimat yang istimewa, di mana mereka mengenal kebaikan dan mereka berserasi dengan Kalimat itu. Mereka yang hatinya tercerahkan akan senantiasa mengikuti jejak Rasul dalam ucapan dan tindakannya. Bila Rasul Saw. mendapatkan wahyu secara dhohir, maka para kekasih Allah mendapatkan melalui hati mereka (Ilham) karena mereka adalah para pewaris Nabi, pengikut-pengikutnya dalam seluruh apa yang diperintahkan Allah Swt. kepada mereka.

Bila kita ingin mengikuti jejak Rasul secara benar, maka perbanyaklah mengingat mati, karena mengingat mati itu akan berarti bagi diri kita, nafsu kita, menjauhkan syetan, dan menepiskan duniawi kita. Barang siapa yang tidak meraih nasihat dari maut, maka ia tidak akan meraih jalan nasihat. Nabi Saw. bersabda, "Cukuplah maut itu sebagai penasihat."

Bagian kita akan tiba, meskipun kita sedang zuhud sekalipun, dan kita justru akan meraih kemuliaan. Tetapi jika bagian itu kita ambil dengan ambisi nafsu, maka kita akan meraihnya, tetapi tidak meraih kemuliaan. Orang munafik itu malu kepada Allah Azza wa-Jalla ketika bersama makhluk, dan ia merasa sinis ketika tidak berada di tengah publik itu. Ingat! Jika iman dan akidah kita benar, Dia akan senantiasa memandang kita, Maha dekat dan Maha Mewaspadai kita, maka sungguh kita akan sangat malu atas segala kelalaian dan dosa yang telah kita perbuat. Kita tak lebih dari serpihan debu atau sebiji sawi di muka bumi, karena kita melihat yang memberi bahaya dan manfaat itu tetap datang dari Allah Azza wa-Jalla, bukan dari yang lain. Budak dan tuan adalah sama.

Beranikanlah untuk mengingkari diri kita dan yang lain melalui jalan syara', bukan jalan nafsu kita, kesenangan atau naluri kita. Bila syariat diam, maka berselaraslah dengan diamnya. Bila syariat bicara, maka berselaraslah dengan ungkapannya. Janganlah kita mengingkari orang lain dengan hawa nafsu kita, tetapi lawanlah dengan iman kita. Iman itulah yang kontra terhadap kemungkaran, sedangkan yaqin itulah yang menghapus kemungkaran. Allah Azza wa-Jalla Yang akan Menolong dan Membela kita. Allah azza wa-Jalla berfirman, "Bila Allah menolong kalian, tak ada yang mengalahkan kalian," (QS. Ali Imron, ayat 160). "Bila kalian memohon pertolongan Allah, Dialah yang menolong kamu dan mengokohkan pijakanmu," (QS. Muhammad, ayat 7).

Bila kita mengingkari kemungkaran sebagai wujud kecemburuan bagi Allah Azza wa-Jalla, maka Dia akan menolong kita untuk menghapus kemungkaran itu, menolong kita mengalahkan ahli mungkar dan menghinakannya. Tetapi jika kita nahi mungkar dengan emosi nafsu kita, hawa nafsu syetan, dan watak hina kita, maka Allah Azza wa-Jalla tidak akan menolong kita untuk mengalahkan ahli mungkar.

Imanlah yang kontra terhadap kemungkaran. Setiap tindakan nahi mungkar yang tidak didasari iman, maka bukanlah sebagai nahi mungkar. Seharusnya motivasinya hanyalah Lillahi Ta’ala. Bukan kepentingan diri dan nafsu kita, atau kepentingan makhluk. Benar-benar untuk kepentingan Allah Azza wa-Jalla, bukan untuk kepentingan diri kita. Tinggalkan stres kita dan ikhlaslah dalam amal-amal kita.

Maut akan terus mengintai kita, sudah seharusnya kita berkontemplasi. Karena itu, tinggalkanlah ambisi kita yang telah membuat kita terhina. Apa yang menjadi milik kita bakal tiba, dan apa yang menjadi milik orang lain tidak bakal kita raih. Karena itu, sibukkan diri kita bersama Allah Azza wa-Jalla. Jangan berambisi mencari apa yang menjadi milik kita dan yang bukan milik kita.

Allah Swt. telah berfirman, "Janganlah engkau pandangkan kedua matamu pada apa yang Kami hiaskan pada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga-bunga kehidupan duniawi, di dalamnya sebagai cobaan dari Kami untuk mereka,..." (QS. Thaaha, ayat 131).

Tuban, 25 April 2017

Mempersiapkan Diri untuk Kehidupan Abadi di Negeri Akhirat
Oleh: M. Fahmi

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. al-Qashash: 77)."

Sebagai umat muslim kita wajib meyakini dengan seutuh-utuhnya, bahwa kelak akan ada kehidupan selanjutnya setelah kehidupan di dunia, yaitu kehidupan di alam kubur dan kemudian kehidupan akhirat yang kekal. Al-Quran merupakan kalam Allah yang mutlak kebenarannya. Maka jangan pernah mendustakan ataupun membohongkan segala yang ada di dalamnya. Pesan demi pesan kebenaran yang disampaikan al-Quran menggunakan bahasa yang lugas dan sederhana, sehingga mudah dipelajari oleh semua khalayak. Diksinya lebih utuh dari sekadar syair. Pun tidak ada satu pun syair yang mampu menandingi keindahan bahasa al-Quran. Al-Quran lebih rasional dari logika sekalipun. Malah, logika yang sesungguhnya harus banyak belajar pada al-Quran. Sebab sekarang banyak logika yang nakal. Mempertanyakan segala keberadaan yang dianggap tidak masuk akal. Maka setiap muslim harus meyakini dengan keyakinan dan keteguhan yang sempurna, bahwa negeri akhirat itu kelak akan benar-benar ada dan terjadi. Agama adalah keyakinan dan keteguhan.

Di kehidupan zaman yang semakin canggih dan transparan ini, banyak manusia yang disibukkan oleh segala macamnya sehingga tidak lagi mempedulikan negeri masa depannya: akhirat. Bagi yang tidak percaya akan datangnya negeri akhirat, mereka akan mengatakan bahwa negeri akhirat hanyalah dongeng nenek moyang yang telah kadaluwarsa di zaman sekarang yang telah melesat dengan cepatnya, menembus dinding-dinding cerita yang berbau takhayul.

Apakah mereka berkata dengan pandangan sebelah mata, "dunia adalah nyata, akhirat hanyalah sebuah cerita masa lalu. Tidak baik tinggal dalam mimpi-mimpi..". Maka ungkapan logika yang rasional untuk menanggapinya ialah, "Saat ini, memang dunia adalah nyata, akhirat hanyalah sebuah cerita. Tetapi, setelah mati. Dunia hanyalah cerita masa lalu, sementara engkau akan melihat, bahwa akhirat menjadi nyata..!"

Pertanyaannya, apakah kita sudah benar-benar mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan esok di akhirat? Sampai detik ini, apa saja yang telah kita siapkan untuk negeri akhirat? Sudah cukupkah bekal kita? Tentu jawabannya ialah belum. Sayangnya kematian telah menjadi penasihat yang sering disia-siakan oleh manusia. Bahwa pemberi nasihat yang berbicara ialah al-Quran, sementara pemberi nasihat yang diam ialah kematian. Dalam surat al-jumu'ah ayat 8 Allah Swt. berfirman, "Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Tidak ada satu pun manusia yang mengetahui, kapan ajalnya akan datang. Kematian selalu datang tiba-tiba. Sehingga mulai detik ini juga, mulai hembusan nafas ini juga, kita harus mempersiapkan bekal untuk menuju negeri akhirat.

Negeri akhirat dengan segala perjalanannya menuju pintu gerbang Surga amatlah jauh, mungkin butuh puluhan ribu lebih tahun akhirat untuk menjalaninya. Semua catatan perjalanan manusia selama hidup di dunia akan diperiksa satu demi satu oleh para malaikat, tidak ada yang tersisa. Maka berbahagialah bagi mereka yang membawa bekal dan persiapan menuju kehidupan abadi di akhirat. Ibarat seseorang melakukan perjalanan jauh di suatu negeri lain, maka mau tidak mau ia harus mempersiapkan segala sesuatunya, dan tentunya tidak lupa untuk membawa bekal. Sehingga tidak ada pilihan misi lain lagi bagi manusia di muka bumi selain hanya mempersiapkan segala bekal untuk kehidupan esok di negeri akhirat dengan cara mengumpulkan kebaikan demi kebaikan di muka bumi ini, di sepanjang detak masa.

Sesungguhnya jika pahala dan dosa itu ditampakkan, niscaya manusia akan berlomba-lomba dalam mencari kebaikan. Tak akan lagi ada manusia yang bermain-main, bergurau, apalagi melakukan maksiat. Sayangnya, tentang pahala dan dosa itu menjadi rahasia ilahi, sehingga banyak manusia yang terlupa dan mengabaikannya. Siapa-siapa yang paling banyak menanam kebaikan, ia akan paling banyak memetik kebaikan pula di negeri akhirat kelak. Banyak cara untuk mengumpulkan kebaikan. Mulai dari kebaikan yang tak kasat mata sampai kebaikan yang kasat mata sekalipun. Kebaikan yang tak kasat mata seperti berdzikir dalam hati, sementara kebaikan yang kasat mata seperti berdakwah dan mengingatkan kepada sesama. Semua boleh dilakukan asalkan niatnya benar.

Ada pula kebaikan yang bisa terus mengalir sampai datangnya hari akhir, seperti shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholih-sholihah. Jika manusia mau membuka mata dan hatinya, maka akan terlihat di setiap ia memandang, kebaikan-kebaikan yang bisa dilakukan untuk kehidupan.

Masalahnya, sekarang orang banyak yang lupa membawa bekal untuk menuju negeri akhirat. Masih banyak orang yang bergurau dan pura-pura tidak tahu kabar tentang negeri akhirat. Kelak di akhirat, orang kafir akan berkata kepada tuhannya, "ya Allah, berilah kesempatan sekali lagi kepada kami, kembalikanlah kami ke dunia, niscaya kami akan beragama Islam dan beriman kepada-Mu.." Maka sekali-kali mereka tidak akan bisa kembali ke dunia, karena mereka sendiri yang tidak memenuhi janji. Sebab setiap manusia sesungguhnya telah berjanji kepada tuhannya di alam azali, membenarkan bahwa Allah Swt. adalah tuhannya, namun ketika dilahirkan di dunia mereka mengingkari janji. Orang juga banyak mengejar sesuatu yang mereka anggap bekal, namun sesungguhnya itu bukanlah bekal.

Sesungguhnya mereka telah mengerti dan berulang kali mendengar kebenaran, tapi entah mengapa, manusia di kebanyakan waktunya banyak yang terlupa. Kebenaran seperti hinggap sejenak di telinga dan kemudian menguap entah ke mana. Padahal jika saja manusia mengetahui, bahwa di setiap pekerjaan dan aktivitas jika diniatkan setulus ikhlas untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, maka di sepanjang waktunya tidak akan ada yang sia-sia. Segalanya akan menjadi kebaikan, kalau itu memang benar-benar kebaikan dan diniatkan setulus ikhlas untuk beribadah. Mudah bukan untuk mencari bekal itu?
Setiap manusia memiliki skill dan kapabilitas masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang berprofesi menjadi kyai, ada yang menjadi tukang, sopir, pedagang, guru, siswa, petugas sampah, buruh, penulis, dan lain sebagainya. Semua itu telah menjadi hukum alam atau sunnatullah. Sehingga setiap pekerjaan yang baik dan bermanfaat itu mulia dan bisa mendatangkan pahala. Menjalankan segala aktivitas dunia jika benar-benar diniatkan untuk akhirat maka akan menjadi amal akhirat. Dan bisa jadi, terlihat amal akhirat tapi sesungguhnya itu adalah amal dunia. Maka janganlah kita memandang remah suatu pekerjaan yang terkesan bukan amal akhirat. Dan berhati-hatilah jika sedang menjalankan amal akhirat, jangan-jangan pekerjaan itu bukan karena Allah. Sesungguhnya segalanya bergantung pada kondisi hati dan niat seseorang. Sehingga mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi di negeri akhirat dapat dilakukan dengan mudah oleh siapa saja yang mau.

Pahala begitu penting, sebab hanya pahala yang dapat menyelamatkan dan menjadi bekal kelak di hari datangnya akhirat. Namun demikian, tidak semua orang yang melakukan kebaikan mendapat pahala. Hanya orang yang beragama Islam yang akan mendapat pahala jika melakukan kebaikan.

Sementara orang non-Islam, sekalipun ia telah berbuat baik sebanyak apapun, kebaikannya tidak dapat diterima oleh Allah. Agama Islam adalah kebenaran, jangan pernah sekali-kali meragukan. Agama Islam ibarat sebuah wadah, sementara pahala ialah isinya. Akan menjadi percuma jika seseorang hanya punya isinya, sementara ia tak memiliki wadahnya. Maka berbahagialah orang yang telah memiliki wadah, terlebih isinya.

Melihat kembali ayat al-Qur'an surat al-Qashash ayat 77 di atas, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat..." Sehingga telah sedemikian jelas, bahwa negeri akhirat adalah kebahagiaan yang harus dicari dari apa-apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kita di dunia ini. Tentu kita senantiasa merasakan, bahwa anugerah itu tak pernah lepas menyelimuti setiap makhluk di muka bumi ini. Maka atas segala anugerah itu, hanya dengan bersyukur kepada Allah lah jalan yang terbaik, yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Kemudian lanjutan dari penggalan ayat tersebut, "dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.." Bahwa segala apa yang telah diberikan oleh Allah dengan cuma-cuma kepada manusia di dunia ini ialah juga bagian dari anugerah. Kita harus melangkah gembira dengan melafadzkan syukur serta puji atas segala nikmat yang telah diberikan Allah. Jangan sampai kesibukanmu beribadah melupakan melihat dan membaca karya agung-Nya yang terhampar di jagat raya ini. Sehingga ada manusia yang diangkat menjadi wali karena khusyu' melihat dan memikirkan keagungan dan kebesaran Allah.

Jangan melupakan bagian kita dari kenikmatan dunia, maksudnya bahwa kita memiliki bagian nikmat, berupa kesehatan, kesempatan, dan lain sebagainya, sehingga kita harus memainkan peran sebagai khalifah fil ardh untuk menyemai segala kebaikan dan kebenaran di bumi, dan mempergunakan segala nikmat di dunia ini dengan sebaik dan sebijak mungkin, dan menggunakan dunia sebagai sarana untuk menuju kebahagiaan di negeri akhirat. Namun demikian, jangan sampai terlena oleh gemerlap dunia yang sesungguhnya menipu ini. Kita harus cerdas dalam membedakan mana pahala mana dosa, mana nikmat mana laknat.

"...dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.." Semoga kita senantiasa diberi kesempatan untuk terus mengumpulkan kebaikan di setiap masa, dan menghapus kesalahan-kesalahan dengan cara mengakhiri kesalahan dan bertaubat dengan sungguh-sungguh kepada Allah Swt., dzat Yang Maha menerima taubat setiap insan. Semoga esok kita dibangunkan dengan membawa bekal kebaikan-kebaikan jauh lebih banyak dari kesalahan, yang dengannya kita bisa sampai kepada ridho-Nya, yaitu surga dengan segala kenikmatannya. Aamiin..

Malang, 31 Januari 2017

Tandusnya “Bumi” Kami
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[Laiknya fiksi, humor pun sebetulnya juga lahir dari sesuatu yang serius. Bahwa kebenaran dan kemurnian tanpa humor sifatnya meragukan. Dengan humor, sesuatu yang serius dikemas sedemikian rupa menjadi sesuatu baru yang bersifat rileks dan renyah. Lalu di manakah letak humor dalam tulisan kami berikut ini?]

Bismillah. Nastaghfirullohaladziim. “Telah sedapat mungkin, kami selamat-selamatkan islam kami. Kami aman-amankan iman kami. Kini, hanya kepadaMu. Kami serahkan segalanya. Kami pasrahkan semuanya. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin,” begitu kata Gus Mus dalam salah satu puisinya.

Esensi cinta kini telah lama mati, bersama matinya hati nurani. “Cahaya” telah lama menghilang, bersama menghilangnya kesadaran. “Langit” telah lama roboh, bersama robohnya keimanan. “Bumi” pun telah lama kering, bersama keringnya jiwa kami. Hari ini. Dunia adalah nyata, akhirat hanyalah sebuah cerita. Tetapi, setelah mati. Dunia hanyalah cerita, sementara akhirat menjadi nyata.

Kini, persetanlah dengan rasa cinta. Persetanlah dengan rasa rindu. Sebab, cinta hari ini telah jarang ditemukan. Entah itu di jalan-jalan, di ladang-ladang, di pasar, di kantor, di sekolah, di gedung-gedung, atau bahkan di tempat-tempat ibadah sekali pun. Kami sering tertipu oleh rasa cinta, yang sebetulnya itu bukan cinta. Kami sering terperangkap oleh rasa rindu, yang sebenarnya itu bukan rindu yang sesungguhnya. Kami mengira kalau itu adalah cinta, tapi nyatanya adalah nafsu.

Kami mengira kalau itu adalah rindu, tapi nyatanya hanyalah kemauan dan ego. Ah, rasa. Betapa naif sebetulnya. Kami sukar membedakan mana kebenaran mana kebatilan, mana kejujuran mana penipuan, mana cinta mana nafsu. Shalat saja, kami belum pernah bisa khusyu’ dari awal hingga akhir. Betapa, lupanya kami. Mungkin karena kebutaan mata kami, atau karena telah lama, jiwa kami dilanda kemarau. Sungguh, kami haus akan keheningan.

Tak terasa, kami sering terpenjara oleh rasa. Padahal sebetulnya, tidak ada bedanya antara rasa lapar dan kenyang, panas atau dingin, sedih atau bahagia, ketakutan atau keberanian, kecewa atau gembira, suka atau duka, cinta atau benci. Pada hakikatnya semua sama, yaitu hanya sebuah “rasa”. Padahal kami sendiri yang menciptakan “rasa” itu. Kami sendiri pula yang disibukkan oleh “rasa” itu, dan kemudian tanpa disadari kami telah berada di sebuah penjara yang bernama penjara “rasa”. Disadari atau tidak, kami telah diperbudak oleh yang namanya rasa. Bagaimana kami berlari mengejar dan dikejar oleh kepentingan atau ketidak-pentingan, hanya dikarenakan sebuah rasa. Pribadi kami sangat labil. Betapa lelah jiwa dan raga kami. Nahasnya, kami belum kunjung mengerti, bagaimana caranya keluar dari penjara itu. Ada yang bilang, “mati saja kau bila ingin tak terpengaruh oleh rasa!”. Tapi itu bukanlah sebuah jalan. Untuk keluar dari penjara bernama penjara “rasa” itu, kami harus mengabaikan segala rasa yang membelenggu hati.

Perlu kami ketahui. Bahwa di pusat panas yang paling panas, di situlah ada titik dingin paling dingin. Begitulah filsafat menjelaskan. Dengan filsafat, kami dapat mengubah panas menjadi dingin, mengubah api menjadi air, mengubah tegang menjadi santai. Filsafat tak ubahnya tongkat ajaib yang ampuh untuk menyulap apa saja yang bersifat keburukan, menjadi segala sesuatu yang baik dan rahmatan lil Aalamiin. Filsafatlah yang mengantarkan kami pada ruang hikmah, yang menjelaskan segala yang terselubung dalam rahasia.

Mungkin hanya dengan senantiasa melihatNya yang akan membersihkan segala kotoran dan penyakit di dalam hati. Agar kami tak menjadi budak dari rasa. Sebab, rasa semestinya hanya ada satu, yaitu untuk Allah, bukan untuk kepentingan yang lain. Bagaimana kami bisa mengatakan bahwa kami mencintai dan melakukan sesuatu karena Allah, sementara niat dan hati kami terlalu beku oleh kepentingan yang lain. Bagaimana kami mencintai makhluk karena Allah, sementara di dalam lubuk hati tersimpan penyakit bernama dunia dan nafsu. Sesungguhnya nafsu, rasa dendam, iri, dengki, sombong, prasangka buruk, merasa benar sendiri, wa akhowatuha, itu semua  hanyalah sebuah “rasa” yang sering membelenggu akal sehingga kami tak bisa berpikir sebagaimana mestinya. Itulah sebabnya, kami terus mengatakan, bahwa berpacaran itu adalah pembodohan belaka dan hanya akan menyibukkan kami pada sesuatu yang sebetulnya tidak penting.

Apakah itu cinta atau nafsu, kami belum bisa membedakan dengan jelas. Kami pun sadar, bahwa nafsu telah memenjara nurani kami yang asali. Kemudian, entah dari ufuk yang mana, kami seperti lahir kembali dari rahim kemurnian. Hingga kami tinggalkan segala bentuk nafsu dalam keyakinan hati. Kami patahkan segala sayap-sayap kami, agar kami tak lagi terbang mencari-cari cinta yang lain. Sebab cinta sebetulnya selalu hadir di setiap mata memandang, di segala pembuluh darah, dan di hati orang-orang yang beriman.

Cinta tak pernah tumbuh di hati orang yang munafik, yakni orang yang membohongi nuraninya. Langkah dan bicaranya orang munafik sesungguhnya mengidap rasa sakit yang akut, sebab nuraninya telah menolak seutuhnya. Orang munafik tidak pernah jujur kepada dirinya sendiri. Apalagi tentang nafsu, orang munafik selalu menganggapnya sebagai cinta. Maka, tenggelamlah orang munafik itu ke dalam “rasa” berkepanjangan yang tak ada ujung dan tepinya.
Telah banyak kami sampaikan pesan demi pesan rahasia, kepada saudara-saudara kami. Telah banyak kami meneriakkan makna kebenaran.

Sungguh. Saksikanlah, telah kami sampaikan, ya Allah. Baik itu secara langsung, pribadi, maupun di layar maya, seperti sms, blog, dan lain sebagainya. Tapi apa imbalannya. Kami malah dikatakan begini, “kau sudah gila dan berpenyakit jiwa rupanya!”, lalu diseretnya kami ke “rumah sakit jiwa”. Ilahi, siapakah sesungguhnya yang sedang berpenyakit jiwa? Di saat orang-orang bersenda gurau, kami sibuk memenuhi rumahNya. Kami disebut-sebut sebagai orang-orang aneh. Ghuroba’, ghuroba’, ghuroba’. Lalu kami teringat akan bagaimana perjuangan Rasul. Tidak sedikit beliau dihina dan dijuluki sebagai orang aneh. Sebab Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula. Melihat tingkah polah terbaliknya zaman, kami merasa asing di zaman ini. Ataukah zaman yang merasa asing dengan keberadaan kami?

Namun percayalah. Kami tak membenci siapa pun. Betapapun jahat tingkah seseorang, ia tetaplah saudara kami. Al-mu’minu akhul mu’min. Kami hanya membenci perilaku yang tidak sesuai dengan syariat. Tidak ada musuh bagi kami, kecuali langkah-langkah setan. Misi kami adalah menyebarkan kebaikan, kedamaian, dan perdamaian di muka bumi. Tetap berprasangka baik kepada siapa saja, sebab setiap manusia pada hakikatnya baik dan berbudi. Kami akan berusaha menjadi rahmat bagi alam semesta.

Dulu, sebelum mengenal filsafat, kami tak mengerti, mana yang patut diperjuangkan dan mana yang harus dibumihanguskan. Tapi, berkat semua pengalaman jejak cerita itulah yang akhirnya membuat kami kokoh pendirian. Kami jadikan jejak cerita yang kelam itu menjadi sebuah pelajaran yang kami pakai di hari ini. Esai filsafat, menurut kami amatlah penting. Sebab, tak selamanya dengan fiksi segalanya dapat terpahami dengan utuh, meskipun fiksi jauh lebih penting dan sederhana karena fiksi juga berangkat dari sesuatu yang nyata. Kami tak perlu memberi contoh satu demi satu yang real di dalam kehidupan, sebab tulisan ini sepenuhnya abstrak. Pun telah nampak dengan begitu nyata dan jelas di sekitar kami. Dan kami pun mengalaminya sendiri. Ah, betapa amat abstrak dan luasnya filsafat. Satu pintu terbuka, di dalamnya terdapat seribu pintu lagi. Dan selalu begitu. Tapi tak apalah kami berdarah-darah dalam pertarungan dan pemikiran filsafat. Pena pun bisa lebih kejam dari pedang bermata buta sekalipun. Sepertinya, kami harus tetap berpikir sendiri dan berpikir panjang. Tak tahu sampai mana titik temu kebenaran ini. Ya Allah, selamatkanlah kami dari lautan kata-kata. Ya Allah, selamatkanlah kami dari kata-kata kami sendiri.

Wallahu A’lam..
Tuban, 29 Desember 2015
Teka-teki Kehidupan
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Ada banyak teka-teki kehidupan yang mesti kita pikirkan melalui perenungan yang—boleh jadi—beda dengan pemikiran kebanyakan manusia. Kita dapat dengan jelas melihat, bahwa langit tak perlu menjelaskan dirinya tinggi. Ia akan tetap tinggi, bahkan ketika tidak ada yang mengakuinya.

Kemudian, banyak orang memahami bahwa air itu mengalir ke bawah, namun sesungguhnya ia sedang menuju puncak yang tertinggi. Lalu, di pusat panas yang sangat panas justru di situ ada titik dingin paling dingin. Ini juga sebuah permainan yang kadang sulit kita pahami, tapi benar adanya karena ia telah mengada dalam keberadaannya. Kau tahu mengapa hal ini—agaknya—begitu rumit? Sebab, sebenarnya tidak ada bedanya antara lapar dan haus, panas atau dingin, duka atau bahagia. Semua hanyalah rasa. Kitalah yang sesunggunya menciptakan rasa. Ada yang berkata kalau sehat dan sakit berawal dari rasa. Mungkin benar, sebab kebanyakan unsur dari anggota tubuh manusia adalah air. Sementara kita tahu, bahwa air adalah senyawa yang sifatnya mudah berubah.

Dalam memahami keabadian, banyak orang yang berbeda pendapat. Sepanjang yang saya pahami,bahwa tidak semua manusia kelak akan mencapai keabadian. Untuk menjadi abadi dan kekal memerlukan proses pematangan yang sangat panjang, sebagaimana proses evolusi logam. Dan tidak semua logam akan menjadi emas, itulah sebabnya Surga dan Neraka bertingkat-tingkat. Hanya logam mulia yang akan mencapai kemuliaan tertinggi dan kekekalan.

Mungkin itu pulalah sebabnya emas menjadi logam yang tunggal. Jika suatu logam dipanaskan selama beberapa tahun, ia akan membebaskan diri dari semua sifat individualnya, dan yang tertinggal adalah jiwa buana. Jiwa buana itu memungkinkan mereka memahami segala sesuatu di muka bumi, sebab dengan bahasa inilah segala sesuatu berkomunikasi. Segala yang ada di dunia ini berubah tanpa henti kerena bumi ini hidup dan mempunyai jiwa. Kita adalah bagian dari jiwa itu, maka kita jarang menyadari bahwa ia bekerja untuk kita. Semua yang ada di alam semesta ini tumbuh, dan bagi orang-orang bijak emas adalah logam yang paling lama tumbuhnya. Manusia tak pernah memahami kata-kata orang bijak, maka emas bukan dilihat sebagai simbol evolusi malah menjadi dasar pertentangan.

Semakin kita banyak belajar, kita bukannya pintar malah akan bertambah bodoh. Buktinya banyak profesor berkepala botak dan berkacamata tebal malah tampak seperti orang linglung, dia kadang tidak bisa membedakan lagi mana manusia, mana bantal guling. Mana kacamata, mana sendok teh. Keduanya sama-sama dipakai untuk mengaduk kopi, hahaha! Makanya aku sekarang ingin menjadi orang yang sederhana saja. Tidak terlalu pintar tapi juga jangan bodoh amat, hehe. Tapi kalau bodoh amat dan ternyata malah selamat ya tidak apa-apa.

Tolong kata-kata dari saya jangan ditelan mentah-mentah. Ambil yang benar, buang yang salah dan buang semuanya kalau memang salah atau tidak ada gunanya sama sekali karena tidak sesuai dengan pemikiran kebanyakan manusia. Anggap saja ini tulisan main-main atau bagian dari keliaran imaji saya sendiri yang sedang mencari titik temu kebenaran. Mungkin saja titik temu kebenaran itu tidak ketemu: karenanya saya harus balik ulang atau justru masuk jurang. Tapi saya mau tidak mau harus bangkit dan tetap berjalan menuju kebenaran yang hakiki itu walau harus dengan langkah berdarah-darah akibat dari kemungkinan salah langkah. Yang jelas semuanya saya dapatkan hasil dari pengalaman dan permenungan setelah mengarungi hidup, mengamati kehidupan atau peristiwa alam, membaca buku, dll. Dan setiap orang pasti memiliki “maqom”nya masing-masing yang tidak sama dengan orang lain.

Malang, 26 Maret 2015

Hidup Penuh Sandiwara
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

Hidup hanyalah sandiwara belaka. Dunia tak ubahnya panggung teater. Jika kau berkenan untuk melihatnya, maka akan kau dapatkan di sana orang-orangnya yang sedang bersandiwara dengan segala tingkah humornya. Maka akan menjadi sangat keblinger, orang yang terlalu mengambil hati dan menganggap serius dari setiap penggal sajak peristiwa kehidupan.

Sadarilah, bahwa yang menciptakan kegelapan hanyalah prasangka demi prasangka buruk. Kehidupan dengan segala perputarannya di zaman sekarang ini, tak seburuk yang kau sangka. Sebab kau bukan Allah, dan semua bukanlah urusanmu yang akhirnya membuatmu risau. Malah sebaiknya, kau harus waspada kepada dirimu sendiri, kepada prasangka-prasangkamu sendiri. Atau jangan-jangan, kau tak pernah gelisah pada dirimu sendiri.

Sebagai catatan, kalau boleh meminjam kata-kata Cak Dian DJ, "jangan terlalu ideal, Nak. Bisa jadi, kenyataan yang akan menghianatimu." Jadilah engkau, sebagai orang yang tidak peka. Sebagai orang yang tidak pernah serius. Atau minimal, berpura-puralah menjadi orang yang tidak peka dan tidak pernah serius. Beruntunglah mereka yang tidak peka ataupun tidak serius. Sebab mereka tak perlu lagi merasa sakit hati jika dicela ataupun dikhianati, karena memandang orang-orang di Bumi yang selalu bercanda. Mereka akan selalu bahagia, ceria, dan riang. Buang saja puisi-puisimu yang bernada mengutuk keadaan. Hidup ini terlalu berat kalau dipenuhi dengan kesedihan dan sakit hati. Bersandiwara dan berhumorlah agar hidupmu menjadi ringan.

Siapapun engkau, jadi apapun engkau, jadilah sebagai orang yang merasa menjadi orang biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, juga berperilaku biasa. Jadilah engkau manusia yang merasa sangat-sangat biasa di hadapan semua saja---yang tak suka menerima pujian. Jadilah engkau sebagai orang yang berpura-pura menjadi orang polos, sebagai orang yang merasa tidak mengetahui apa-apa, agar engkau terbebas dari segala bentuk peng-Aku-an. Sebab segala bukanlah milikmu.

Kata sebuah lagu, kira-kira begini liriknya, "mari menyusun bunga Seroja, hiasan sanggul putri remaja. Rupa nan elok janganlah dimanja. Pujalah ia sekedar saja. Mengapa kau bermenung, berhati bingung. Janganlah engkau percaya pada asmara. Sekarang bukan lagi zaman bermenung."

Janganlah engkau tertipu oleh rasa. Sebab cinta yang hakiki telah lama mati bersama matinya hati nurani. Orang-orang telah melupakan cinta yang hakiki. Yang tersisa hanyalah cinta yang palsu. Asmara. Betapa cengeng nampaknya. Mestikah seseorang sibuk dengan soal urusan cinta setiap hari, padahal ada banyak hal lain yang mesti diselesaikan dalam hidup ini. Perbarui langkahmu. Jangan lagi percaya pada asmara.

Hidup hanyalah permainan. Jika kau tak bisa memainkannya dengan benar, maka kau akan dipermainkan. Dan pada akhirnya, engkau akan disebut sebagai orang-orang kalah. Bumi hanyalah rumah mimpi. Sampai pagi bernama ajal yang akan membangunkamnu. Bumi adalah sekolah gratis untuk semua. Sebuah universitas yang segaja disediakan kepada semua makhluk Allah. Segala tempat dan peristiwa di Bumi selalu dapat memberikan pelajaran. Maka belajarlah engkau yang rajin di sana.

Bahkan tak hanya Bumi, alam semesta raya dan seluruh isinya, baik yang kasat mata maupun yang gaib ini adalah ayat-ayat kauniyah atau tanda-tanda keagungan Allah. Maha Pencipta Segala. Manusia dengan segala perilakunya di muka Bumi ini adalah bekerja, bukan menunda kekalahan, apalagi menimbun hayalan dan asmara. Bukan. Tinggal mereka bekerja untuk di dunia saja, ataukah bekerja untuk keabadian. Sudahkah kita mengerti bagaimana cara menginjak bumi yg benar?

Tuban, di pagi hari yang merambat siang.
Em Ef,  16.06.’16

Apa Kabar Islam Kita?
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

“Sudah berapa kali Anda belajar, tetapi tidak pernah mengamalkan? Lipatlah pustaka ilmu, lalu sibuklah dengan pustaka amal disertai hati yang ikhlas. Jika tidak, pencarianmu pada ilmu tidak akan menguntungkan sama sekali.” Begitulah kira-kira Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, mengingatkan alfa, beta, kelupaan kita dari hari ke hari namun belum kunjung juga kita mengerti.

Kemudian dalam kitab Al-Hikam, karya Ibnu Athaillah As-Sakandary, dijelaskan bahwa, “man ‘amila bi ma ‘alima, warotsahullohu ‘ilma ma lam ya’lam.” Artinya kira-kira begini, “barang siapa yang mengamalkan ilmu—walaupun itu sedikit—yang ia tahu, maka Allah akan menganugerahkan ilmu yang belum pernah diketahuinya.”

“Percayalah dan beramallah dahulu, maka engkau akan mengetahui rahasia-rahasia. Bila kau tak percaya, maka selamanya kau tak akan pernah mengetahui. Bukankah tujuan sejati dari perjalanan Kehidupan adalah agar kita semakin dekat dengan segala rahasia itu?” Kata Imam Al-Syahrastani dalam salah satu kitabnya.

Setiap manusia yang beriman—dalam perjalanannya—selalu mencari pengetahuan dan kebenaran yang mengantarkannya menuju pemahaman baru di setiap harinya. Berbagai kata mutiara indah di atas memberi sedikit gambaran tentang bagaimana adab atau tata krama seseorang yang memiliki ilmu. Bila seseorang hanya sibuk untuk mencari ilmu saja tanpa mengamalkannya—hingga mungkin akhirnya lupa, berarti ia telah berdosa pada Allah SWT melalui perbuatannya (yang tidak disertai dengan ilmu). Ilmu akan lenyap dengan begitu saja jika tak pernah diamalkan. Untuk dapat menjaga ilmu di dalam hati dan perilaku, maka hanya ada satu jalan, yaitu mengamalkan.

Malulah kepada Allah Azza waJalla dalam seluruh perilaku, dan mulailah beramal dari detik ini juga. Janganlah membuat kegelapan dan kekotoran pada ilmu—yang konon katanya adalah sebagai cahaya penerang di sepanjang jalan—dengan suatu amal yang menipu, jangan pula mengikuti kemuliaan dengan kehinaan. Sibukkanlah diri dengan beramal kepada Allah Azza waJalla.

Tinggalkan memburu pada selainnya, sebab apa yang sebetulnya dibutuhkan seseorang hanyalah Allah Azza waJalla. Pun hanya dengan beramallah, derajat seseorang akan dapat meningkat di hadapan Allah Azza waJalla.

Di kehidupan ini, harus ada keseimbangan antara olah zikir, olah fikir, dan olah fisik. Begitu pula, harus ada keseimbangan antara amal lahiriyah dengan amal bathiniyah. Perjalanan seorang Muslim adalah dimulai dari tangga syari’at, lalu thoriqah, kemudian hakikat, dan yang paling tinggi adalah alam ma’rifat. Seperti halnya ketika seseorang akan menuju suatu tempat yang tinggi, maka yang harus dilkaukan adalah melewati tangga demi tangga maqam / derajat. Orang yang telah menempuh segala perjalanan dan telah sampai pada Rabbnya, mulai dari syari’at sampai ma’rifat disebut Insan Kamil.

Di dalam kitab al-Hikam dijelaskan, “syari’at tanpa hakikat adalah kosong (hampa), sementara hakikat tanpa syari’at adalah dusta.” Maka belumlah patas seseorang disebut insan Kamil jika salah satu dari kedua hal tersebut tidak ada. Atau kira-kira dapat diumpamakan perjalanan seorang pencari mutiara yang ada di dasar lautan. Maka yang disebut syari’at adalah perahu yang dapat mengantarkannya ke tengah lautan. Kemudian air laut sebagai thoriqah atau jalannya, lalu hakikat adalah mutiara yang terpendam di dasar lautan.
Setiap manusia di muka bumi ini memiliki maqam—dalam hal ini: derajat di hadapan Allah—yang berbeda-beda. Mulai dari manusia yang paling dibenci sampai manusia yang paling disayang oleh Allah. Orang yang munafik mengikuti perintah Allah Azza waJalla dan RasulNya hanya sebatas formalitas di depan khalayak manusia belaka, tidak sampai menyentuh pada makna dan inti yang sesungguhnya, berarti lahir batinnya telah dusta. Sebagaimana ahli maksiat hina dalam dirinya, pendusta juga hina dalam dirinya.

Namun demikian, seseorang sebenarnya tidak boleh terlalu berhasrat untuk mendapatkan “tempat” yang paling tinggi di hadapanNya.

Karena hal yang demikian masih terselubungi oleh sebuah penyakit bernama nafsu. Ia sebetulnya tersiksa, sebab hawa nafsu masih melilit segala gerak dan perilakunya dan menjadi bagian dari diri; melangkah karena hawa nafsu, dan semuanya karena hawa nafsu. Akhirnya seluruh perbuatannya terselubung oleh hawa nafsu.

Tentu saja, kebanyakan manusia akan lebih tertarik mengamati hal-hal yang nyata daripada hal-hal yang abstrak. Padahal jika saja seseorang mengetahui bahwa yang berhak “wujud” hanyalah Allah Yang Maha Ada, sementara semua makhluknya hakikatnya tidak ada, karena tidak berhak memiliki sifat “wujud” dan semuanya akan fana (sirna). Terbuktilah bahwa sesungguhnya yang diamati oleh kebanyakan orang sehari-hari (dunia dan seisinya) adalah suatu gambar yang abstrak adanya.

Apabila seseorang terlalu banyak melakukan dosa, maka ia akan terjebak oleh gambar-gambar yang sesungguhnya tidak nyata dan tertutuplah mata hatinya dari hal-hal yang hakiki; yang sebenarnya ada. Sebaliknya para kekasih Allah yang lembut dan bersih hatinya, mereka selalu melihat hal yang hakiki dan nyata adanya. Menikmati diri selalu bersama Allah menjadi momen yang paling berharga bagi para kekasihNya. Dan mereka berkata, “Masihkah orang-orang tak juga percaya akan adanya hal-hal yang hakiki?”

Bila seseorang hanya mementingkan amal lahiriyah belaka, sungguh ia telah meremehkan sebuah amal bathiniyah untuk mengenal lebih dekat dengan Allah Azza waJalla. Salah satu amal bathiniyah yang tidak melahirkan penyakit hati—berupa riya’—hanyalah zikir di dalam hati.

Dengan berdzikir, maka seseorang yang lain tidak tahu tentang apa yang sebetunya dilakukan olehnya. Dalam hadits Qudsy disebutkan: “Siapa yang sibuk dengan dzikir padaKu dibanding meminta padaKu, Aku memberinya lebih utama ketimbang yang Kuberikan kepada para peminta.”
“Ya Allah ingatkanlah selalu kami dari kealpaan orang-orang yang lalai. Amiin.” Begitulah do’a para sufi yang senantiasa mereka panjatkan. Karena bagi mereka, jika saja lalai mengingatNya dalam satu detik sekalipun, berarti ia telah berdosa. Dzikir lisan saja tanpa hati, tidak ada kemuliaan sama sekali. Dzikir yang sesungguhnya itu harus disertai dengan dzikir hati dan rahasia hati, baru muncul dzikir lisan. Maka benarlah dzikirnya Allah Azza waJalla, “Ingatlah selalu kepadaKu maka Aku akan senantiasa mengingatmu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kufur padaKu.” (Al-Baqarah: 152).

Ingatlah, bahwa kehadiran manusia di muka bumi ini kelak akan sirna, dan ketika waktu itu telah sampai pada batasnya, maka Malaikat Maut akan datang menjemputnya, mencopot hidupnya dari tempat singgah dunia yang sementara, memisahkan dirinya dari keluarga dan orang-orang yang dicintai. Berusahalah, dan berbekallah dengan ‘amal yang banyak dan disertai dengan ‘ilmu, agar tidak mati dalam keadaan dibenci oleh Allah Azza waJalla. Siapkan langkah ke akhirat, tunggulah kematian, karena seseorang nanti akan melihat di sisi Allah Azza waJalla sesuatu yang lebih baik dibanding semua yang dilihat di dunia ini.

“Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Dan lindungilah kami dari pedihnya siksa neraka.”

Malang, 30 April 2015

Cerita Tentang Manusia
Oleh: M. Fahmi

~Tidak untuk dipercaya. Bukan nasihat. Cuma endapan proses belajar. Bisa jadi benar. Bisa jadi salah. Wallahu a'lam.~

[Orang-orang yang tidak penah belajar sastra, entah itu para politikus, saintis, bisnissman, para pejabat, polisi, pegawai, tentara, atau orang-orang lain yang mengaku dirinya waras, mereka tak akan pernah memahami ucapan dan jalan pemikiran para pengarang. Para pengarang adalah guru kehidupan yang jalan pikirannya tidak dimengerti oleh kebanyakan orang di zaman yang sekarat seperti ini. Sayang, ajaran mereka tidak menjadi bahan bacaan wajib siswa di sekolah. Adalah termasuk pengarang yaitu para nabi, wali, ulama, dan  sastrawan islami. Karya mereka berupa kitab-kitab, kisah-kisah bijak, nasihat, puisi, dan cerpen islami, mampu menerangi jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia].—Em Ef.

Kawan. Engkaulah sahabat jiwaku. Teman di saat aku bimbang di persimpangan waktu. Tempat aku bersandar di saat aku telah lelah menanggapi segala persoalan dunia yang memilukan dan tidak penting itu. Untuk itu, izinkanlah aku bercerita kepadamu, Kawan. Hanya kamu yang bisa memahamiku kata-kataku selama ini. Hehehe, jangan pernah menganggap aku serius lagi ya! Anggap saja tulisanku ini hanya gombal semata.
Kau kan sudah tau, bahwa aku ini orangnya sangat ceria, periang, dan tidak suka serius. Aku selalu menganggap segala persoalan yang datang sebagai suatu humor yang ingin mengajakku bercanda. Ya, mereka semua selalu bercanda dengan segala teater dan aktingnya. Sementara aku hanya bisa tersenyum dan tertawa menonton adegan-adegan mereka yang lucu itu. Tak pernah ada ceritanya dan tak pernah ada kamusnya kalau saya ini adalah orang yang serius, segalanya hanyalah lawakan dan guyonan. Sepanjang perjalanan ini begitu melelahkan, sehingga barangkali setiap orang butuh metode untuk menertawakannya. Kisah tentang manusia sangat naif, dungu, dan serius, sehingga kita harus pandai-pandai menertawakannya. Cerita tentang persoalan dunia ini pun sangat menggelikan, sehingga siapa saja mesti terampil untuk membuatnya sebagai humor. Peradaban umat manusia sangat merupakan komedi, sehingga menjadi tolollah siapa saja yang terlalu “mengambil hati” dari setiap penggal episode kehidupan untuk terlampau memprihatinkannya.

Kawan, betapapun persoalan dunia ini memilukan dan tidak penting, aku tetap ingin bercerita, mungkin bisa dibuat bahan renungan kita bersama. Bahasa manusia memang kadang bisa berbohong itu. Ya, antara hati dan lidah manusia kadang bisa saja kesleo. Tapi kita akan berusaha menjelaskan segalanya dengan bahasa semesta, sebuah bahasa yang tidak akan pernah dipahami oleh manusia yang menghianati nurani. Dan kita akan tertawa setiap kali bercerita.

Kawan, aku hanya bisa menuliskan segenggam asa ini untukmu. Biar engkau tahu resah dan gelisahku. Kutulis semata-mata karena aku hanya ingin menulis. Setelah semuanya tertulis maka legalah perasaanku. Tapi bukan berarti semuanya akan tertuliskan di sini. Tak mungkin aku bisa menuliskan semuanya dengan kata-kata biasa di lembaran sesempit ini.

Baiklah, engkau mungkin sudah tahu semuanya. Tentang manusia. Ya, kali ini aku akan bercerita tentang manusia. Benar katamu, Kawan. Manusia memang begitu. Manusia dengan segala tingkah dan karakternya. Ah, kadang aku risih berbicara tentang manusia. Tapi kadang pula aku suka. Karena kenyataannya aku juga manusia. Biarkanlah tulisan ini mengalir apa adanya. Penapun bisa lebih kejam dari pedang bermata buta sekalipun.

Bumi adalah tempat di mana para manusia berulah. Ada manusia yang tersesat jauh dari tujuan hakiki. Ada manusia yang menempuh jalan kembali yang benar. Begitulah para manusia. Suatu saat aku melihat manusia yang hidupnya terdampar di pulau yang jauh, ia tak bisa kembali, kasihan sekali ia. Suatu ketika pula aku kagum atas mereka yang menyebarkan pesan demi pesan rahasia kehidupan, mereka tanggalkan segala kemegahan dunia, untuk mengabdi pada Pemilik kebenaran. Manusia dengan segala perilakunya adalah bekerja. Tinggal mereka bekerja untuk kehidupan di dunia saja, ataukah bekerja untuk keabadian. Lalu, sudahkah kita mengerti bagaimana cara menginjak bumi yang benar?

Hati yang membawa kaki manusia melangkah. Segalanya bergantung pada kebersihan hati. Jikalau hati itu bersih, maka ia akan dipenuhi oleh cahaya yang dapat menyerap segala risalah gelap. Namun jika hati itu kotor, maka ia penuh dengan kegelapan, sehingga butalah segala penglihatannya. Di antara kotornya hati adalah amarah, bangga diri, dusta, iri, dengki, pamer, dendam, maksiat, tak bisa memaafkan, selalu serius, tak bisa berhumor kepada sesama, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kawan. Suatu ketika aku melihat orang yang gila jabatan dan pangkat. Bagaimana aku bisa tahu? Mudah saja, sebab ia tidak suka atau lebih tepatnya tersinggung jika ada orang yang tidak hormat padanya. Orang yang marah dan malu ketika harga dirinya dijatuhkan, maka ia termasuk manusia pemburu jabatan. Baginya, penghormatan, kesempurnaan, dan kemuliaan adalah segalanya. Ia akan marah jika orang tidak menyebutkan pangkat atau gelar, misalnya. Maka jika ada manusia yang seperti ini, kita harus berhati-hati. Jangan hanya gara-gara harta atau jabatan kita menunuduk, karena hal itu akan meruntuhkan dua per tiga keimanan kita.

Pada hakikatnya semua orang itu sama saja, yang menjadi berbeda hanyalah tingkat ketakwaannya di hadapan Allah. Dan karena kita orang biasa, kita tak tahu, mana manusia yang memiliki tingkat ketakwaan paling baik di sisi Tuhannya. Sebab yang mengerti kekasihNya adalah juga hanya kekasihNya. Kita ini masih dalam tangga syari’at, orang biasa, maka jangan menempatkan diri, menganggap, atau berpura-pura sebagai kekasihNya. Karena di antara cobaannya bukan hanya tentang kesusahan, tapi juga tentang kemuliaan, atau yang lebih keren lagi disebut sebagai istidroj. Dari itu semua, kita orang biasa, maka kita memandang semua orang itu pada taraf yang sama. Jangan kalau kita memuliakan para Kyai, lantas sikap kita berbeda kepada tukang becak, misalnya. Kita sama ratakan saja, kita hormati semua manusia yang ada di muka bumi ini. Betapapun bejat tingkahnya, karena kita orang biasa, maka kita tak pernah tahu, lebih baik mana kita atau mereka. Maka berprasangka baik kepada manusia wajib hukumnya bagi orang biasa.

Namun kita jangan lantas latah meniru perbuatan yang salah, kita harus tetap berpegang pada kebenaran yang selama ini kita yakini. Itu merupakan prinsip yang harus selalu dijaga oleh orang biasa.

Kawan. Suatu ketika aku juga melihat manusia yang telah melupakan jalan yang dulu ia genggam dalam janji. Entahlah. Mungkin karena perputaran zaman yang telah sedemikian rakusnya, sehingga arti kebenaran, arti kemanusiaan, dan arti persaudaraan telah dicampakkan darinya. Ini kejadian yang nyata. Dan hampir dialami oleh kebanyakan manusia.

Dulu, waktu masih kecil, manusia masih belum mengenal banyak hal. Bagus itu, sebab ia hanya diajarkan segala tentang kebaikan oleh kedua orang tuanya. Sehingga ia bersama teman-temannya berlomba-lomba dalam kebaikan. Mulai dari belajar mengaji, shalat bersama, dan sebagainya. Beribadah pada waktu masih kecil tergolong masih khusyu’ dan rajin, karena memang anak kecil telah meyakini sepenuhnya pada hafalan-hafalan hasil belajar di TPQ, dan ia akan takut jika disiksa di akhirat kelak, seperti cerita-cerita yang telah dituturkan oleh guru-gurunya di kelas. Mereka cepat dalam menerima pelajaran, dan langsung diamalkannya. Tapi demi bertambahnya usia, ia menjadi manusia yang mengenal banyak hal, entah itu tentang kebenaran sampai pada yang tidak benar. Apalagi ditambah dengan masa kini serba canggih, mulai dari android, laptop, internet, dan produk teknologi lainnya yang sangat membantu proses pertukaran informasi dan komunikasi.

Apalagi ditambah manusia zaman sekarang (khususnya anak perempuan)—maaf—yang telah kehilangan rasa malunya. Ini membuat segalanya menjadi dunia yang sangat rawan oleh berbagi jebakan dan muslihat setan yang terlaknat itu.

Maka menjadilah manusia sebagaimana ia menjadi. Manusia yang teguh dalam memegang bara api keimanan, sekalipun itu panas rasanya, maka ia akan selamat dari berbagai fitnah yang ada. Adapun manusia yang tidak kuat akan panasnya bara api keimanan itu, maka ia akan melupakan segala apa yang telah diajarkan oleh gurunya.

Lihatlah, bagaimana perputaran zaman ini telah sedemikian cepat mengubah peradaban manusia, menjadi manusia yang kekinian dan modern. Aku kira dampak negatifnya akan lebih besar, maksudku dampak negatif dalam pandangan islam. Zina di layar kaca, pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya itu semakin marak terjadi.

Peperangan ideologi telah meluas, sehingga kocar-kacirlah umat Islam yang mudah rapuh manakala didebat. Mendekati zaman akhir, memang Allah sengaja mewafatkan para ‘Ulama, sehingga tak ada lagi nasihat yang didengar oleh para manusia. Kemudian ditambah semakin maraknya kebodohan agama, sehingga semakin rusaklah segalanya.

Di dalam al-Qur’an dijelaskan, bahwa yang pertama memulai dalam berzina adalah perempuan, dan yang paling banyak mencuri adalah lelaki. Itu adalah salah satu sebab mengapa di neraka esok akan dijumpai banyak perempuan daripada laki-laki. Jenis-jenis zina tak hanya secara harfiah saja, namun juga ada zina mata, zina telinga, zina mulut, zina hati, dan lain sebagainya. Itu semua yang dapat membekukan hati, jika hati telah beku maka akan sulit untuk dilunakkan. Sehingga butalah segala penglihatannya dari kebenaran.

Sebenarnya masih banyak catatan tentang manusia yang belum kuceritakan, Kawan. Tapi suatu hari nanti akan kusambung lagi tulisan ini. Semoga dapat menjadi bahan renungan kita bersama, dan jangan serius-serius ya kalau terlampau membaca tulisanku di atas.

Sebagai tambahan, sampai sekarang, aku masih belajar mengingat kejadian itu. Sebuah peristiwa perjanjian antara aku dan Tuhanku sebelum akhirnya aku lahir dari garba ibu. Sesuai dengan kalamNya, aku diceritakan berjanji dengan setulus keyakinan, bahwa kelak aku akan menjalani kehidupan dengan taat kepadaNya. Ia berkata padaku, kurang lebih seperti ini, "..sungguh, kelahiran bagimu adalah sebuah cobaan. Mereka yang telah lolos dari perjanjian ini, akan Aku hidupkan di dunia sebagai bayi muslim. Sementara mereka yang tak mampu berjanji tak akan hidup di dunia. Sungguh dunia adalah keberatan dan cobaan bagimu yang telah berjanji.

Hati-hati jika berada di dunia ya, Nak. Jangan sampai engkau jatuh terpeleset di jurang yang kau buat sendiri…".

Malang, 13 Mei 2016